“Ketupat Terakhir di Meja Ibu”
Hari itu, matahari pagi menyelinap masuk lewat jendela rumah sederhana di pinggir desa. Suara takbir menggema dari masjid, menandai hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Udara penuh aroma ketupat, opor ayam, dan rendang buatan Ibu.
Raka berdiri di ambang pintu, ragu-ragu. Ia baru kembali ke kampung halaman setelah tiga tahun merantau di kota, terhalang pekerjaan dan pandemi. Banyak yang berubah — jalanan, tetangga, bahkan dirinya sendiri. Tapi satu yang tetap sama: senyum hangat Ibu yang menyambutnya di ambang pintu.
"Raka..." suara Ibu bergetar, tangannya gemetar saat meraih tangan putranya.
Raka memeluk Ibu erat, lebih erat dari yang pernah ia lakukan.
Di ruang makan, segala masakan khas Lebaran sudah tersaji. Tapi mata Raka tertumbuk pada satu hal: ketupat terakhir yang masih utuh, diletakkan dengan hati-hati di piring porselen tua.
"Itu... ketupat yang Ibu simpan sejak pagi," kata Ibu pelan. "Biasanya kamu yang paling suka rebutan duluan."
Raka tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia duduk dan mengambil ketupat itu, memotongnya perlahan, dan menyendok kuah opor buatan Ibu yang rasanya tak pernah berubah.
Hari itu, bukan hanya ketupat yang hangat — tapi juga hati Raka. Lebaran bukan soal makanan, bukan soal pakaian baru, tapi tentang pulang. Tentang memeluk yang tersayang dan mengucap maaf dari lubuk hati paling dalam.
"Maafkan Raka, Bu... untuk semua yang dulu tak sempat."
Ibu hanya tersenyum sambil membelai kepala anaknya. Di luar, suara takbir masih menggema, tapi di dalam rumah itu, suara hati yang saling memaafkan jauh lebih lantang.
ChatGPT dapat membuat kesalahan. Periksa info penting. Lihat Preferensi Cookie.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar